Cerita Melahirkan
yang sudah kehilangan napasnya alias megap-megap ga diurus saya..hiks
Tapi kalo dipikir-pikir buanyaak cerita yang mau saya tulis tentunya ttg hal-hal yang sudah saya dan keluarga alami. Jadi ga pa-pa deh saya coba hidupkan lagi yaa blog ini.Ok, secara kemaren-kemaren udah nulis panjang lebaaar mengenai cerita kehamilan, persiapan bahkan segala macamnya. So, mari saya ceritakan tentang cerita kelahiran baby kami.
Di postingan sebelumnya, saya singgung dikit bahwa saya ikutan suami yang tugas ke Dublin, nah itu rupanya minggu terakhir bumil boleh bepergian naek pesawat (hehehe emang kondisi masih fit dan yang penting malas dan cranky ditinggal suami lagi jadi kudu ikutan). Di Norway, ibu hamil telah boleh mendapatkan cuti persiapan melahirkan 2 minggu sebelum hari terminnya. Jadi saya masih ingat saat itu saya sudah mulai cuti semenjak Paska 2010 awal bulan April 2010.

Rabu, 14 April 2010 ketika saya ke toilet lah kok sudah ada bercak-bercak darah, langsung saya telpon suami untuk pulang ke rumah. Kemudian kami ke RS. St. Olav. Disana diperiksa bidan, katanya ga masalah, normal dan sehat-sehat aja. Jadi disuruh pulang ke rumah.

. Saya kasih tau suami dan kami segera menuju ke rs. Dalam perjalanan, saya sms ortu di Semarang kasih kabar, rasanya saat itu pengeeen banget ada ortu yang juga ikutan nemenin secara fisik tapi ya gimana lagi wong jaoh jaraknya. Jumat, 16 April 2010 pukul 00.00an, saya masuk ke kamar di bagian bersalin. Di Norway, kamar bersalin untuk bumill ya dipakai sendiri alias 1 bumil 1 kamar yang udah lengkap dari kamar mandi ada bath tub buat waterbirthing, peralatan komplet, tv, radio, dll. Ketika diperiksa bidan, saat itu baru pembukaan 1, dia bilang kalo pembukaan lambat nanti pulang saja yah...weeee, la kok pulang piye???
Saya males dong balik rumah lagi, jadi ketika bidan keluar untuk memeriksa bumil di kamar sebelah, saya dan suami berdoa supaya dilancarkan pembukaannya dan ga usah pulang. Selang 1 jam bidan kontrol saya lagi, eeeh udah bukaan 5 kalo ga salah jadi ya udah ga disuruh pulang yes. Habis itu ya sudah kami berdua di kamar diminta istirahat, saya praktekan Hypnobirthing untuk relax selama kontraksi datang, dan hasilnya ketika kontraksi hilang saya dan suami bobo. Beberapa kali bidan datang tanya apa saya perlu alat bantu persiapan kelahiran (akupuntur, epidural, gas penenang ) saya bilang engga perlu. Bidan bilang la trus perlunya apa? Saya bilang aku cuman pengen dipijat suamiku...hehehehe karena memang tiap kontraksi datang, paha kanan rasanya kuenceeeng bangeet tapi kalo kontraksi hilang ya ga kenceng. Kata bidang, saya termasuk bumil yang pendiam
karena kagak teriak-teriak kesakitan ketika kontraksi datang seperti tetangga sebelah yang aduhai segala macam perbendaharaan kata bisa terdengar sayup-sayup dari tempat saya.
. Suamilah yang memotong tali pusar antara saya dan bayi. Kemudian perawat mengurus si bayi ditemani suami, saya masih berjuang mengeluarkan ari-ari, push sekali lagi. Setelah bayi dibersihkan singkat dan diberi pakaian, putri kami diserahkan ke saya, tidur di dada saya untuk pertama kali, ooh luar biasa, skin to skin contact! Saya sama suami menangis terharu. Bidan dan perawat bilang silahkan nikmati saat-saat kalian bersama sebagai keluarga baru...terserah mau berapa lama, kalo udah nanti panggil kami yah gitu. Senangnyaaa luar biasa. Kami ciumi putri kami, dan saya biarkan dia mencari susu ASI yang pertama kali, sungguh otomatis dia bisa mencari sumber ASI dan menikmatinya untuk pertama kali. Terima kasih Tuhan.
Setelah itu, barulah suami telpon ortunya, saudara, saya sms bapak ibu, rekan kerja dekat, teman deket pokoknya kabar-kabari.
Lucunya nih, pada saat hari kelahiran saya dan suami cuman masih punya nama Johanne Kiplesund tapi belum memutuskan nama tengahnya karena ada 2 pilihan nama.
Setelah selesai urusan di rumah sakit, pukul 13 siang, kami bertiga dipindahkan ke hotel rumah sakit tempat untuk tinggal selama 3 hari sebelum pulang ke rumah. Disana fasilitas gratis pun masih diberikan secara komplet.
sepanjang jalan. Bayangkan, suami yang tidak di tempat, orang tua jauh, mertua juga baru aja pulang, sendirian sama bayi kami ditemani perawat yang terus menyemangati saya dalam bahasa norsk bahwa penyakit kuning sudah biasa apalagi untuk bayi dengan ortu campur seperti kami. Sebenarnya batas penyakit kuning si Johanne cukup rendah, tapi mereka tidak mau ambil resiko.
, saya pikir putri kami tidak bisa tidur satu ruangan dengan kami (saya ingat seperti itu keponakan saya di Jakarta yang lahir kena kuning juga). Tapi puji Tuhan, cepatnya Tuhan hapus kekawatiran saya, ternyata di Norway alatnya dibawa masuk ke ruangan, jadi kami tinggal 1 ruangan, saya, bayi dan suami yang menunggu. Ketika suami datang dan ketika putri kecil kami mulai disinar dengan hanya memakai popok, trus kacamata untuk melindungi matanya...tangis saya tumpah tak tertahankan. Setiap kali saya melihat putri kami disinar, saya rasanya pengeeen memeluk dia tapi kan ga bisa. Jadi cuman liat dari luar. Efek penyakit kuning jadinya si bayi ini aga malas menyusui, padahal kalo bayi ga nyusu produksi ASI mana berjalan. Jadi cukup berat juga saat itu kami melewati hari-hari dimana putri kami disinar. Labels: Experience, Family, Sharing
--------------------oOo--------------------



2 Comments:
Wah Mbak, sampai melahirkan pun harus mandiri ya di luar sini. Padahal kalau di Indonesia tinggal bilang ke rumah sakit bahkan mereka ingin kita tinggal lebih lama bersama mereka. Ck...ck...ck.....aku bisa merasakan masa2 itu Mba,. Bravo Mbaaa.....terus cerita ya, aku banyak belajar dari blog ini, terutama tentang perbedaan buadaya dan kebiasaan itu. Kebiasaan dilayani :)
lah ya begitu,apa-apa mandiri di negeri orang, ini juga berlaku buat orang lokal sini kok, para ortu n mertua juga ga seheboh di Indonesia :P Bereess..berees pasti cerita lagi, makasih udah baca yah :)
Post a Comment
<< Home