Curcol
Pasti langsung terbersit, “loh hal menbanding-bandingkan itu ya ga baik dong”. Betul sekali, tepat. Gampang kan ya alias sepele aturannya. Nah, itu yang kejadian yang baru aja saya alami.
Well, semenjak Johanne lahir dan ketika berkumpul bersama dengan ibu-ibu lain yang punya baby sepantaran usia Johanne (di Norway kami punya grup baby) maka saya mulai belajar bagaimana para mama-mama ini yang namanya memuja-muji membanggakan anaknya mulai dari yang: pinter minum ASI, udah mulai pinter makan, udah bisa tepuk tangan padahal baru umur 4 bulan, udah mulai ngomong, udah mulai belajar berdiri padahal masih belum genap 7 bulan, ukuran badan yang besar-gendut-chubby, bla, bla, bla, bla.
Ini wajar sebagai orang tua apalagi rata-rata kami baru saja punya anak pertama, belum ada pengalaman punya baby dan perkembangan bayi bagus tentu patut dibanggakan. Ini ga masalah, justru bagus malah karena kita jadi bisa mendorong anak untuk bisa makin tumbuh kembang. Cumaaaaaan, yang jadi masalah buat saya (buat saya loh ya, mungkin ga masalah buat orang lain) adalah ketika seorang mama mulai MEMBANDINGKAN anaknya dengan anak orang lain sampai orang lain merasa kurang nyaman bahkan sampai ga enak hati. Dan itu yang terjadi sama saya.
Ini beberapa contoh perbandingan yang saya udah terima dan membuat saya kurang merasa nyaman:
*Johanne udah bisa tepuk tangan kaya baby X belum yah? Oooh belum bisa?? Loh padahal mereka seumuran yaa?
*Johanne ukuran bajunya berapa sih? Keliatannya kecil amat? Si baby X udah ukuran 86 loh kok Johanne masih 74 melulu??
*Dulu pas waktu Johanne umur 5 bulan kok kayanya badannya kecil yah? Padahal si baby X sekarang ini udah 5 bulan dia udah besar dan berat lagi.
*Johanne baru maem makanan padat umur 6 bulan?? Waah kalo baby X udah mulai bisa maem umur 4 bulan looh.
*Johanne udah bisa jalan kaya baby X belum? Loh belum bisa?? Loh padahal baby X ini kan lebih muda 1 bulan yaah??
*Gigi Johanne udah tumbuh berapa?? Ooh laah, masih tumbuh yang bawah doang? Kalo baby X udah tumbuh 4 di atas, udah 4 di bawah sekarang ini looh.
*Dsb
Komentar yang saya terima kebanyakan dari para mama bule, sebisa mungkin saya tangkas dengan jawaban yang sopan tanpa harus menyakiti mereka, tapi kalo tetep aja di-smash balik ya kadang saya aga keras juga komentarnya, wajar kan kalo kita juga perlu “membela” anak kita sendiri. Awalnya saya jelas sedih (ya adalah nangis bombay), saya curhat sama suami. Kami udah bahas masalah ini dan kami pun sudah tau solusinya menghadapi komentar seperti ini. Yang terpenting bagi kami adalah: Johanne perkembangannya baik, kurva perkembangan dia normal dan dia sehat, ceria dan lincah.
Tapiii yang barusan terjadi adalah, baru saja saya terima komentar perbandingan ini (membandingkan Johanne dengan anak teman saya sendiri) dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa saya sendiri, dari salah seorang teman yang saya kenal baik. Komentar dalam bahasa tentu rasanya lebih dalam, lebih mengena, lebih kerasa dibanding komentar dalam bahasa laen. Maka saya pun kecewa dan sesak. Saya tau, saya harusnya bisa lebih tegar lagi wong ya masalah ini sudah pernah saya lalui kok dan saya tau gimana fight back-nya. Cumaaan, seperti yang saya bilang, rasa kecewa ini terasa karena kami berteman baik, kenal baik.
Perlu waktu sedikit lama buat saya untuk menanggapi komentar yang diberikan, ada sedikit “perang batin” dalam diri saya apakah saya akan turuti emosi saya tapi efeknya komentar ini akan pedas dan mungkin malah bisa merusak pertemanan atau saya komentar sopan namun ada misi yang bisa ditangkap oleh teman saya itu bahwa ada nada protes di dalamnya? Akhirnya saya putuskan untuk memberikan komentar yang sopan dan mengena. Well, itu pun kalo dianya kerasa loh ya, tapi kalo engga kerasa ya paling tidak saya merasa nyaman karena saya tidak perlu memberikan komentar dengan emosi.
Disini saya belajar, bahwa pengalaman seperti ini adalah pembelajaran buat saya untuk makin lebih dewasa dan bijaksana dalam menyikapi komentar yang diberikan oleh orang lain terlebih atas anak kita. Tidaklah perlu membanding-bandingkan anak yang satu dengan yang lain karena setiap anak adalah unik. Mereka pribadi yang berlainan, mereka punya kelebihan dan kekurangan mereka sendiri sama seperti kita orang dewasa...tidak ada yang sempurna.
Labels: Experience, Feeling
--------------------oOo--------------------