Ketika Perbedaan Budaya Hadir….
Perbedaan yang selama ini kami alami ya berkisar mengenai cara pandang dan kebiasaan-kebiasaan dalam hidup sehari-hari alias tradisi kami masing-masing. Karena ini tulisan saya yang buat, maka ya saya pribadi bersyukur bahwa suami saya termasuk orang yang pengertian…bukan saya mau menyombongkan dia, namun memang ini apa adanya. Apabila tidak ada pengertian, saya yakin hubungan kami yang dilatar-belakangi dengan 2 budaya yang berbeda pastilah mustahil dijalani.
Contoh yang sangaaat sederhana misalnya, saya ini kan terbiasa dengan kebiasaan jawa (karena memang berasal dari keluarga Jawa)…nah, dari dulu pasti sudah terbiasa memakai tangan kanan kalo mau memberikan sesuatu ke orang lain, apalagi ke orang yang lebih tua. Misal sekalipun musti pake tangan kiri, pasti ada ”kata-kata” sopan: misalnya nyuwun sewu atau maaf ya pakai tangan kiri. Nah si suami saya ini suka bangeet kasih sesuatu pake tangan kirinya. Awalnya saya risi bangeet, trus saya komentar ke dia. Kasih opini alias cara pandang saya, nah dia juga kasih opini dia ke saya. Jadi menarik banget . Si suami sih bisa mengerti, artinya begini, dia akan belajar mengingat kebiasaan ini soalnya memang untuk menjaga hal yang baik eeh misalnya pada saat dia memberikan sesuatu ke ortu atau embah saya begitu hehehe kan ga lucu kalo sampe terjadi salah paham gara2 hal sepele. Cuman saya pun ga baik protes secara tiba-tiba kalo misal dia akhirnya lupa dan pake tangan kiri Sederhana kan perbedaan ini ???
Contoh yang mau saya kasih nih mengenai pengalaman kemaren pada waktu kami menikah. Semua pasti sudah tau kalo tradisi Jawa yang berkenaan dengan urusan pernikahan itu buanyak, detail dan kadang ”berat”. Nah pada waktu awal rencana pernikahan kami, memang saya sudah kasih ancang2 ke dia kalo nantinya bakal buanyak tradisi Jawa ini dan itu supaya dia siap jauh hari sebelumnya. Sebetulnya bisa saja, saya dan keluarga ”lewatkan” segala macam urusan tradisi Jawa ini..yang penting menjalani acara menikah secara keagamaan dan negara sah, selesai, jadi beres. Tapi memang dari saya sendiri saya pengen ”melestarikan budaya” yang memang sudah saya kenal dari masih bayi sampe segedhe begini. Tapi saya sendiri tidak terlalu suka dengan tradisi yang tidak bisa ditoleransi/saklek/harga final begitu, soalnya menurut saya tradisi itu dijalani harus dengan hati yang lapang, hati yang gembira bukan dengan keterpaksaan harus menjalaninya. Nah, berhubung 2 budaya kami berasal dari akar yang berbeda maka menjelaskan makna dan tata cara tradisi cukup menantang juga .
Saya masih ingat ketika kami membahas soal siraman. Nah, menurut adat & tradisi kan ga boleh si calon pengantin saling ketemuan alias melihat pasangannya siraman. Ini salah satu perdebatan juga sih waktu itu, opini ortu-keluarga bilang dia ga bisa liat pas waktu saya siraman…tapi seluruh keluarga dan tamu dari Norway boleh liat, dia di hotel saja. Pada saat itu saya bayangkan dia yang ”manyun” di hotel sementara keluarga dia plus teman2 dari Norway bisa datang ke rumah saya melihat acara. Jadi memang waktu itu, saya yang perjuangkan hal ini dengan meminta ortu & juru rias memperbolehkan supaya dia bisa lihat siraman. Ga gampang menjelaskannya sih, alasan saya begini: kalo kami sama-sama orang Indonesia, ya wajar kalo pada saat siraman diselenggarakan masing-masing jadi emang ga bisa saling lihat. Tapi ini, saya yang orang Indonesia dan dia orang Norway. Bagi saya, saya sangat menghargai bahwa dia setuju menikah dengan memakai adat jawa yang komplit. Jadi saya minta juga ortu bisa pahami hal ini. Melihat acara tradisi ini kan jarang-jarang buat orang luar, apalagi Norway dan Indonesia jarak tempuhnya cukup jauh. Nah, jadi begitulah diambil jalan tengahnya. Awalnya yang dia tidak siraman plus pangkas rikmo (potong rambut) akhirnya diadakan di rumah sebelah setelah acara siraman saya selesai. Jadi, dia beserta rombongannya melihat saya pas siraman. Ini berlaku juga pas acara midodareni, acara malam sebelum pernikahan hari berikutnya. Kami boleh ketemuan juga
Ada lagi sebetulnya pas acara mau berangkat ke gereja untuk pemberkatan, nah ada acara temon, dimana pengantin pria menjemput pengantin wanita. Nah di acara itu kan ada yang pengantin wanita mencuci kaki si pengantin pria kan, nah pada saat itu setelah saya mencuci kaki dia…dia juga gantian mencuci kaki saya. Beberapa orang cukup banyak berkomentar mengenai hal ini , karena tidak ada di adat tradisi Jawa. Tapi menurut saya, makna mencuci kaki itu kan sebagai bentuk pelayanan, rasa hormat terhadap pasangan hidupnya kan? Nah, mengapa tidak pria melakukan hal yang sama terhadap pasangannya? Saya sih membayangkan memang jaman dulu, wanita Jawa kondisinya berbeda dengan yg sekarang ini…jadi hanya wanita saja yang mencuci kaki pria. Tapi apabila tradisi bisa dipadukan dengan kondisi sekarang ini, dimana era persamaan hak antara pria & wanita sudah lazim adanya, mengapa tidak? Toh, tidak ada yang salah dengan arti saling melayani dan hormat menghormati antara suami istri bukan? Yang terpenting lagi, tradisi mencuci kaki itu harus bisa diterapkan dalam kehidupan berumah tangga nantinya, bukan hanyak sebagai simbol saja (biar bagus buat difoto & dikenang misalnya).
Jadi begitulah cerita kali ini, saya belajar menyikapi perbedaan antara kami bukan sebagai hal yang negatif tetapi sebisa mungkin kami belajar mencari solusi dengan keterbukaan dan komunikasi di antara kami. Semoga bisa menjadi inspirasi
Labels: Experience, Feeling
--------------------oOo--------------------